Jumat, 03 Maret 2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Pendahuluan
Terwujudnya keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh perorangan, tetapi juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
            Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90 % (Kasanah, 2011).
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua klien adalah bekas perokok yaitu 10 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan  pasien  PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis di RSUD Aek Kanopan”. Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami perkembangan yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis di Kelas I RSUD Aek Kanopan ”.

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien dengan PPOK.
1.3.2        Tujuan Khusus
Penulisan makalah tentang Asuhan Keperawatan pada Klien dengan PPOK ini diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk:
a.       Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnosa dan penatalaksanaan pada klien PPOK.
b.      Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan PPOK.
c.       Mampu menganalisa dan mempraktekkan tindakan yang tepat, yang dapat dilakukan pada klien PPOK.
         
1.4  Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif dalam bentuk studi kasus dengan pendekatan proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan gangguan Sistem Respirasi,  sedangkan tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui Studi Kepustakaan, yaitu studi melalui literatur dengan melihat dari buku sumber yang berkaitan dengan kasus yang diambil dalam pembuatan makalah.

1.5  Manfaat Penulisan
1.5.1        Rumah Sakit
Laporan kasus ini dapat menjadi masukan untukmeningkatkan pelayanan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK
1.5.2        Institusi Pendidikan
Laporan kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat memberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK.

1.5.3        Profesi Perawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk praktek asuhan keperawatan langsung kepada klien dan mengadakan penyuluhan  tentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra, 2010). Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis. 
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE) merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005). Sedangkan menurut T.M.Marrelli, Deborah S.Harper (2008), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu kondisi kronis yang berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma dan bronchitis.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyakit paru obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan ciri-ciri adanya keterbatasan udara yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronkhitis kronis, asma dan emfisema.

2.2  Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Brashers (2007) adalah :
a.       Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b.      Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c.       Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d.      Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.

2.3  Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Reeves (2001) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

2.4  Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).


2.5  Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) antara lain :
a.       Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b.      Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c.       Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
d.      Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e.       Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f.        Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
g.       Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h.       Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
i.         Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j.        Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
k.      Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l.         Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m.     Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.

2.6  Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.


a.      Acute Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
b.      Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c.       Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru  Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
d.      Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.

2.7  Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah :
1.      Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2.      Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a.       Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b.      Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c.       Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d.      Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e.       Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f.        Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3.      Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a.       Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b.      Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c.       Fisioterapi.
d.      Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e.       Mukolitik dan ekspektoran.
f.        Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g.       Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah
a.    Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
b.    Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
       Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik  dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
       Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
       Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
2.8  Asuhan Keperawatan
2.8.1        Pengkajian
Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan PPOK ialah :
1.    Aktivitas dan istirahat :
Gejala :
a.       Keletihan, kelemahan, malaise.
b.      Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c.       Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d.      Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda :
a.       Keletihan.
b.      Gelisah, insomnia.
c.       Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
2.    Sirkulasi
Gejala :
a.       Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
Tanda :
a.       Peningkatan tekanan darah.
b.      Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c.       Distensi vena leher atau penyakit berat.
d.      Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e.       Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f.        Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
g.       Pucat dapat menunjukkan anemia.
3.    Integritas Ego
Gejala :
a.       Peningkatan faktor resiko.
b.      Perubahan pola hidup.
Tanda
a.     Ansietas, ketakutan, peka rangsang



4.    Makanan atau Cairan
Gejala :
a.       Mual atau muntah.
b.      Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c.       Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d.      Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronchitis).
Tanda :
a.       Mual atau muntah.
b.      Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c.       Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d.      Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronchitis).
5.    Hygiene
Gejala :
a.       Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehai-hari.
Tanda :
a.       Kebersihan buruk, bau badan.
6.    Pernafasan
Gejala :
a.       Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b.      Lapar udara kronis.
c.       Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d.      Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e.       Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f.        Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g.       Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
7.    Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus
Tanda :
a.       Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b.      Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c.       Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula, melebarkan hidung.
d.      Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel chest), gerakan diafragma minimal.
e.       Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas (asma).
f.        Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g.       Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h.       Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i.         Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8.    Keamanan
Gejala :
a.       Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b.      Adanya atau berulangnya infeksi.
c.       Kemerahan atau berkeringan (asma)


9.                            Seksualitas
Gejala :
a.       Penurunan libido.
10.                        Interaksi Sosial
Gejala :
a.       Hubungan ketergantungan.
b.      Kurang sistem pendukung.
c.       Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d.      Penyakit lama atau kemampuan membaik.
Tanda :
a.       Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress pernafasan.
b.      Keterbatasan mobilitas fisik.
c.       Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
11.                        Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala :
a.       Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b.      Kesulitan menghentikan merokok.
c.       Penggunaan alkohol secara teratur.
d.      Kegagalan untuk membaik

1.8.2        Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) adalah :
a.       Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
1.8.3        Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) adalah :
a.       Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1.        Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi nafas adventisius.
2.        Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3.        Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4.        Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5.        Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6.        Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7.        Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.
Kolaborasi :
1.      Berikan obat sesuai indikasi.
a.       Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b.      Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c.       Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol ruangan.
d.      Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa

b.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1.        Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
2.        Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
3.        Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
4.        Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas.
5.        Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
6.        Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
7.        Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8.        Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9.        Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
1.      Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2secara umum menurun, sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2.      Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3.      Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4.      Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan penyelamatan hidup.

c.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1.        Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
R/ pasien distres pernapasan  akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat.
2.        Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3.        Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan  motilitas gaster dan konstipasi.
4.        Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
5.        Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
6.        Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan gerakan diafragma, dapat meningkatkan dispnea.
7.        Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8.        Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Kolaborasi :
1.          Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi parenteral.
R/ memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi.
2.          Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
R/ mengevaluasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3.          Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan.

d.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
Mandiri :
1.      Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2.      Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3.      Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4.      Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5.      Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6.      Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7.      Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
Kolaborasi:
1.      Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram, kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai antimikrobial.
2.      Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas, atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.
BAB III
TINJAUAN KASUS

Identifikasi Pasien
Nama                           : Tn. S
Jenis kelamin                : Laki-laki
Usia                             : 63 tahun
Alamat                         : Aek Kota Batu
Pekerjaan                     : Wiraswasta
Status perkawinan        : Kawin
Agama                         : Islam
MRS                            : 19 Februari 2017
Tanggal pemeriksaan    : 20 Februari 2017

ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS

 Keluhan tambahan
Nyeri ulu hati sejak 7 hari SMRS

Riwayat perjalanan penyakit
            Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi aktivitas bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas bunyi mengi (+), pasien mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada.  Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+), keringat malam hari (+), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+), BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari. Pasien mengkonsumsi obat paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh oleh dokter yang meratwat.
± 1 bulan  SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+)  bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental  ± 1 sendok teh, demam (+) ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan turun (+), keringat malam (+) BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke praktek dokter. Dan mengalami perbaikan, batuk dan sesak berkurang.
± 7 hari SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±10 meter, nafas bunyi mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental  ± 2 sendok teh, demam ada namun tidak terlalu tinggi.  Pasien mengeluh sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun (+). Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati (+), mual (+), mutah (-), perut terasa penuh (+), selalu bersendawa (+). BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke SpPd namun tidak ada perbaiakan. Kemudian pasien berobat ke RSMH dan dirawat.

Riwayat penyakit dahulu
-          Riwayat nafas berunyi mengi (+) sejak 2 tahun yang lalu, pencetus mengi udara dingin, pasien menggunakan obat yang disemprot setiap kali serangan.
-          Riwayat  alergi makanan tidak ada.
-          Riwayat bersin-bersin udara dingin ada.
-          Riwayat sakit darah tinggi disangkal.
-          Riwayat kencing manis disangkal.
-          Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
-          Riwayat minum obat-obatan NSAID disangkal.

Riwayat kebiasaan
-          Riwayat merokok sejak umur 10 tahun hingga 2 tahun 1 bungkus per hari.

Riwayat penyakit keluarga
-          Riwayat penyakit di keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

Riwayat sosioekonomi
-          Status ekonomi kurang

Status gizi
            Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring.
            Variasi diet:
                        Karbohidrat      : nasi, sebanyak 1 piring
                        Protein             : tahu, tempe sering
                        Lemak              : ikan, ayam, daging, ± 1potong, jarang
                        Sayur               : sering, sayur bayam atau kangkung
                        Susu                 : jarang

II. PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan Tanggal 20 Februari 2017)
Keadaan umum            : Tampak sakit
Keadaan sakit              : Sakit sedang
Kesadaran                    : Compos mentis
Gizi                              : kurang
Dehidrasi                      : -
Tekanan darah              : 110/70 mmHg
Nadi                             : 78 x/ menit
Pernapasan                   : 22x/ menit
Suhu                             : 36,8°C
BB                               : 44 kg
TB                               : 165 cm
IMT                             : 16,16 kg/m3

Keadaan spesifik
Kulit
Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), pertumbuhan rambut normal.

KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta  tidak ada nyeri penekanan.

Kepala
Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformitas (-), rambut putih, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+) normal, pergerakan mata ke segala arah baik.

Hidung
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).

Telinga
Tophi (-), nyeri tekan prosesus mastoideus (-), pendengaran baik.

Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan, pursed lips breathing (-).

Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (+), JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-).

Dada
Dada simetris pada kondisi statis, bentuk barrel chest, sela iga melebar. Pada kondisi dinamis dada kanan dan kiri tidak ada yang tertinggal,  retraksi suprasternal (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok di dada (-), krepitasi (-).

Paru-paru
I           : Statis simetris,  dinamis kanan = kiri tidak ada yang tertinggal, sela iga melebar (+), retraksi suprasternal (-)
P          : Stem fremitus melemah pada kedua lapangan paru-paru, sela iga melebar (+).
P          : Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS VII
A         : Vesikuler (+) melemah pada kedua  lapangan paru, ronkhi basah sedang pada kedua apeks paru, wheezing (-).

Jantung
I           : Ictus cordis tidak terlihat
P          : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis sinistra
  P         : Sulit dinilai
A         : HR: 78x/ menit, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
I           : Datar
P          : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae, tajam, rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba.
P          : thympani, nyeri ketok (-), nyeri tekan (+) di epigastrium
A         : BU (+) Normal
Alat kelamin
            Tidak diperiksa

Ekstremitas atas
            Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.

Ektremitas bawah
            Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (19 Maret 2012)
Hasil Pemeriksaan Hematologi:
Pemeriksaan
Hasil
Normal
Hb
13,8 g/dl
14-18 g/dl
Eritrosit
4.240.000
4,5-5,5 juta/mm3
Ht
39 vol%
40-48 vol%
Leukosit
9.200/mm3
5000-10.000/mm3
Trombosit
314.000/ mm3
200.000-500.000/ mm3
LED
10 mm/jam
L < 10 mm/jam, P < 15 mm/jam
Basofil
0%
0-1 %
Eosinofil
3%
1-3%
Batang
0%
2-6%
Segmen
60%
50-70%
Limfosit
24%
20-40%
Monosit
8%
2-8%
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik:
Pemeriksaan
Hasil
Normal
BSS
80  mg/dl

Cholesterol Total
142 mg/dl
< 200 mg/dl
Ureum
27 mg/dl
15-39 mg/dl
Creatinin
0,8 mg dl
L 0,9-1,3 mg/dl, P 0,6-1,0 mg/dl
Bilirubin total
1,14 mg/dl
0,1-1,0 mg/dl
Bilirubin direk
0,24 mg/dl
<0,25 mg/dl
Bilirubin indirek
0,9 mg/dl
<0,75 mg/dl
SGOT
17 U/I
<40 U/I
SGPT
10 U/I
<41 U/I
Natrium
148 mmol/l
135-155 mmol/l
Kalium
5,1 mmol/l
3,5-5,5 mmol/l












Pemeriksaan radiologi
Foto thorax PA (20 Februri 2017)
Gambar 1: Foto rontgen thorax

-          Kualitas foto kurang baik
-          asimetris
-          Trakea di tengah
-          Tulang-tulang baik
-          Sela iga melebar
-          Diafragma tenting (-)
-          CTR < 50%
-          Sudut costophrenicus tumpul
-          Parenkim paru : infiltrat di apeks kiri dan kanan, hiperaerasi
Kesan : TB aktif lesi sedang, PPOK.






3.1  Pengkajian
3.1.1        Analisa Data
No
Data
Etiologi
Problem
1
Ds :
-       Pasien mengeluh sesak nafas pasien mersakan dada yang tertekan, pasien mengatakan ada riwayat merokok.
Do :
-       Pasien terlihat kesulitan bernapas, batuk disertai dengan sputum kental, pasien terlihat kesulitan berbicara, terlihat meninggikan bahu untuk bernafas.
-       Terpasang o2 : 2 -3 l/m
-       Respirasi RR : 26 x/i
pola nafas tidak efektif

peningkatan produksi secret

nafas pendek

bronkiolus menyempi dan tersumbat

hipersekresi jalan nafas

iritasi jalan nafas

merokok
Pola nafas tidak efektif
2
Ds :
-       Papasien mengatakan letih dan lemas setelah melakukan aktifitas sehari – hari karena kesulitan bernafas sesak nafas saat istirahat setelah beraktifitas.
Do :
-       Pasien terlihat letih pasien dibantu oleh anggota keluarga seperti berpindah tempat mandi dan toilet.


Intolerasi aktivitas

ADL dibantu

Kelemahan

Ketidak sehimbanggan supplay o2

Beonkiolus menyempit dan tersumbat
Intoleransi aktivitas
3
Ds :
-       Pasien batuk  mengatakan kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah dimalam hari pasien mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Do :
-       Pasien sering terbangun saat tidur dimalam hari pasien terbangun 4x dimalam hari pasien tidur 5 jam selama sehari
Gangguan pola tidur

Batuk meningkat dimalam hari

Bronkiolus menyempit dan tersumbat


Diagnosa Keperawatan
1.      Bersian jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan produsi secret d/d pasien mengeluh sesak nafas, terpasangnya o2 : 2 – 3 l/I, respirasi : 26 x/i.
2.      Intoleransi aktivitas b/d ketidak sehimbangan supplay o2 d/d pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari – hari karena kesulitan bernafas, sesk nafas saat istirahat setelah beraktivitas seperti berpindah tempat, mandi dan toilet.
3.      Gangguan pola tidur b/d batuk meningkat dimana hari d/d pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena bentuk pasien sering terbangun saat tidur dimalam hari.






RENCANA HASUHAN KEPERAWATAN
No
Diaknosa keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
1
Bersian jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan produsi secret d/d pasien mengeluh sesak nafas, terpasangnya o2 : 2 – 3 l/I, respirasi : 26 x/i.

Tujuan :
-          Pola napas efektif
Criteria hasil :
-          Jalan nafas tetap lancer dari sekret
-    Kaji status pernafasan


-    Aukultasi bunyi nafas


-    Berikan posisi semi foeler

-    Anjurkan keluarga memberikan air hangat.
-    Kolaborasi dalam memberkan obat dan o2
-   Gerakkan meninggikan bahu dan gerakan dada yang tidak simentris menunjukkan gangguan di pernafasan.
-   Bunyi nfas dapat menunjukkn secret dan krekel sebagai respon terhadap penumpukan cairan di jalan napas.
-   Posisi semi fowler membantu klien mengurangi gangguan pernapasan.
-   Secret yang menumpuk di jalan nafas bias encer apa bila diberika air hangat.
-   Pemebrian obat berkolaborasi untuk melongarkan jalan nafas dan pemberian o2 membantu peningkatan saluran oksigen dalam paru.
2
Intoleransi aktivitas b/d ketidak sehimbangan supplay o2 d/d pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas sehari – hari karena kesulitan bernafas, sesk nafas saat istirahat setelah beraktivitas seperti berpindah tempat, mandi dan toilet.
Tujuan :
-          ADL terpenuhi
Kriteria hasil :
-          Semua aktivitas dilakukan secara mandiri tanpa bantuan.
-    Anjurkan keluarga membantu aktivitas pasien selanma masih sesak
-    Anjurkan pasien agar mengurangi aktivitas.

-    Berikan obat dan o2
-    Aktivitas yang dibantu diharapkan dapat mengurangi sesakan.


-   Dengan banyak beristirahat dapat membantu pemulihan kelemahan dan letihan pasien
-   Pemberihan o2 dan obat diharapkan pernafasan menjadi longgar dan oksingen dalam paru terpenuhi.
3
Gangguan pola tidur b/d batuk meningkat dimana hari d/d pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena bentuk pasien sering terbangun saat tidur dimalam hari.

Tujuan :
-          Kebutuhan tidur terpenuhi
Criteria hasil :
-          Pasien mengatakan istirahat tidurnya terpenuhi
-   Anjurkan pada pasien untuk menghindari iritasi atau allergen seperti asap rokok.
-   Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur
-   Membantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman
-   Berikan obat bronkhodilator
-   Dengan bebas dari asap rokok iritasi dan allergen lainnya diberikan o2 didalam ruangan dapat mengurangi sesak.
-   Dengan penggunaan oksigen dapat membantu dalam paru.
-   Posisi semi fowler membantu mengurangi bernafas yang berlebihan

-   Pemebrian obat bronchodilator membatu melonggarkan pernapasan.


CATATAN PERKEMBANGAN
Nama : Tn. S                                                                                     Dx. Medis      : PPOK
Umur   : 63 Tahun
No
Tanggal/ Dx Medis
Implementasu
Evaluasi
1
20.02.2017
Dx. I
-   Mengkaji status pernafasan (auskultasi, bunyi nafas meng ronchi pada paru bagian kanan.
-   Memberikan posisi emi fowler pada pasien dengan melakukan bantal di pundak pasien.
-   Memantau pemberian o2 sesuai dengan anjuran dokter dan pemebrian obat bronchodilator.
-   O2 : 2 – 3 l/m
-   Nebul ventolin /8 jam
-   Nebul petolin  /8 jam
-   Menganjurkan keluarga memberikan air minum hangat
S : pasien mengatakan sesak dan merasakan dada tertekan
O : ronchi (+), batuk (+), RR : 26 x/m
A : masalah belum teratasi
P : intervensi dilanjutkan
Dx. II
-   Menganjurkan keluarga agar selalu membantu aktivitas pasien selama sesak
-   Menganjurkan pasien untuk mengurangi aktifitas
-   Membantu pemeberian obat bronchodilator dan o2 : 2 -3 l/i
S : keluarga mengatakan pasien sangat lelaapabila berjalan sedikit
O : sesak, lemah, RR : 26 x/i
A : masalah belum teratasi.
P : Intervensi dilanjutkan
Dx. III
-   Menganjurkan pasien dan keluarga untuk menghindari iritasi atau allergen seperti rokok
-   Membantu pasien untuk mendapatkan posisi semi fowler agar mengurangi rasa sesak.
-   Menganjurkan pasien agar tetap menggunakan oksigen selama tidur.
-   Memeberikan obat bronchodilator (bronsoluvon, nebul ventolin, nebul pelmicort)
S : keluarga mengatakan pasien tidur gelisa.
O : pasien sering terbangun dan sesak.
A : Masalah belum teratasi.
P : Intervensi dilanjutkan.
2
21.02.2017
Dx. I
-   Mengakaji status pernafasan RR : 22 x/i
-   Memberikan posisi semi fowler dengan membuat bantal dipundak pasien.
-   Memantau pemeberian 02 dan obat chadilator (bionsolvan) o2 terkadang sudah dilepas bila terasa agak sesak baru digunakan lagi.
-   Memberikan air hangat setiap pasien minta minum.
S : pasien mengatakan sesak sudah mulai berkurang, batuk berkurang.
O : pasien tanpak tenang RR : 22 x/i
A : masalah sebagian teratasi
P : intervensi sebagian teratasi
Dx. II
-   Memebrikan pasien melaksanakan aktivitas ringan seperti berpindah tempat, makan sendiri.
-   Memeberikan obat bronchodilator (brensolvon)
S : pasien mengatakan sudah bias makan sendiri dan berpinda temat
O : pasien terlihat bisa melakukan aktivitas
A : masalah teraktasi
P : intervensi dihentikan
Dx. III
-   Menganjurkan pada keluarga agar menghindari iritasi atau allergen pasien sudah mulai bias tidur nyenyak.
-   Memebrikan posisi semi fowler agar tidur pasien lebih nyaman
S : pasien mengatakan sudah bias tidur
O : pasien hanya sesekali terbangun untuk pergi ke toilet
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
3
23.2.2017
Dx I
Intervensi dan implemtasi dihentikan :
1.      Pasien tampak lebih santai
2.      02 tidak terpasang lagi
3.      Pemebrian oabat injeksi dan nebul dihentikan
4.      RR : 18 x/m
5.      Pasien sudah dapat melakukan aktivitasnya sendiri
6.      Pasien pulang karena sudah sembuh dan tidak sesak lagi.
S : pasien tampak lebih tenang
O : pasien berwajah segar
A : masalah teratasi
P : interpensi dihentikan








BAB IV
PENUTUP

5.1            Kesimpulan
            Dari hasil asuhan keperawatan Tn. Sdengan PPOK, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
5.1.1        Melakukan pengkajian pada Tn. Sterkait dengan PPOK
Dalam melakukan pengkajian pada Tn. S, penulis mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan Tn. Skarena Tn. Skesulitan berbicara. Maka dari itu, penulis tidak hanya melakukan wawancara pada pasien saja, tetapi juga pada anggota keluarga Tn. S
5.1.2        Merumuskan diagnose keperawatan pada Tn. S
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, penulis memprioritaskan 3 diagnosa yaitu Perubahan pola nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekret dan tumor paru. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekret dan tumor paru
5.1.3        Melakukan perencanaan terhadap Tn. S
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi pasien. Sehingga intervensi yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik terkait dukungan dan kerjasama dari Tn. Sdalam mengatasi penyakit yang dideritanya. Saat penulis melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan yang akan dilakukan selanjutnya, klien dan keluarga klien juga kooperatif.
5.1.4        Melakukan tindakan keperawatan pada Tn. Sterkait penyakit PPOK yang dialami Tn. S
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. Ssangat kooperatif saat dilakukan injeksi, fisioterapi dada, diajarkan tekhnik mengeluarkan secret dengan batuk efektif dan pasien juga memperhatikan saran yang diberikan oleh penulis antara lain minum air hangat matang untuk memudahkan keluarnya secret.
5.1.5        Melakukan evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. S
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan selama 7 hari, untuk diagnose pertama sampai ketiga belum teratasi sedangkan diagnose keempat sedikit teratasi.

5.1.6        Melakukan dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. S
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis mendokumentasikan tindakan tersebut dalam catatan yang penulis buat.

5.2            Saran
5.2.1   RSUD Aek Kanopan
Penulis memberikan saran kepada Rumah Sakit agar dapat meningkatkan dan mempertahankan standar asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat terjaga.
5.2.2   STiKes Binalitas
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan seminar kecil dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan teruatama dengan pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
5.2.3 Profesi Perawat
Penulis berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan, lebih ramah lagi tehadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan sebaik-baiknya.



DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Doenges, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from: http://www.goldcopd.org
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.
Lyndon,Saputra,(2010), Buku Kapita Selekta Kedokteran Klinik, BinaRupa Aksara Publiser. Tangerang
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba Medika.
Price, Sylvia A. Dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC, 410-460.