BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Terwujudnya
keadaan sehat adalah kehendak semua pihak, tidak hanya oleh perorangan, tetapi
juga oeh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan
sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomi.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati
urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat
rokok pada penyakit penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak
80-90 % (Kasanah, 2011).
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang
rawat inap RS.Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan
bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun.
Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua klien adalah bekas perokok yaitu 10
penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK
adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada
laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki
merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota
rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga
merupakan perokok pasif.
Maka
dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu
asuhan keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis di RSUD Aek Kanopan”. Alasan
penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit ini
memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat memerlukan
ketelatenan untuk dapat memelihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi
pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus mengalami perkembangan
yang progresif dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu,
perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan
gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosional bagi penderita
penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronis di
Kelas I RSUD Aek Kanopan ”.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan
Umum
Mampu
melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif pada klien dengan PPOK.
1.3.2
Tujuan
Khusus
Penulisan makalah tentang Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan PPOK ini diharapkan dapat membantu mahasiswa
untuk:
a.
Memahami
tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan diagnosa dan penatalaksanaan pada klien PPOK.
b.
Memahami asuhan keperawatan pada klien
dengan PPOK.
c.
Mampu
menganalisa dan mempraktekkan tindakan yang tepat, yang dapat dilakukan pada
klien PPOK.
1.4 Metode Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif dalam bentuk studi
kasus dengan pendekatan proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan
gangguan Sistem Respirasi, sedangkan tekhnik pengumpulan data
dilakukan melalui Studi Kepustakaan, yaitu studi melalui literatur dengan
melihat dari buku sumber yang berkaitan dengan kasus yang diambil dalam
pembuatan makalah.
1.5 Manfaat Penulisan
1.5.1
Rumah
Sakit
Laporan
kasus ini dapat menjadi masukan untukmeningkatkan pelayanan asuhan keperawatan
pada pasien dengan PPOK
1.5.2
Institusi
Pendidikan
Laporan
kasus ini di harapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat memberikan
gambaran pengetahuan mengenai PPOK.
1.5.3
Profesi
Perawat
Laporan
kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk
praktek asuhan keperawatan langsung kepada klien dan mengadakan penyuluhan tentang
kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra,
2010). Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya
dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.
PPOK
adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial,
serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya (GOLD, 2009). Selain itu menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan
obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang
termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama
yang menahun, bronkiektasis.
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY
DISEASE) merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru
yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005).
Sedangkan menurut T.M.Marrelli, Deborah S.Harper (2008), Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu kondisi kronis yang berkaitan dengan
sekelompok penyakit : emfisema, asma dan bronchitis.
Dari
beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyakit paru
obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan udara yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari
jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronkhitis
kronis, asma dan emfisema.
2.2 Etiologi
Faktor
– faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Brashers (2007) adalah :
a. Merokok
merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK.
Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara
cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat
peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari
1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan
yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi
saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya
tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko terkena
PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia
mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi
udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas
PPOK.
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Reeves (2001)
adalah :
Perkembangan
gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem
pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi
dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang
dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi
dahak yang semakin banyak.
Biasanya
pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang
cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara
maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung
jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak
yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain
itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup
drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang
makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi
sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam
melakukan pernafasan.
2.4 Patofisiologi
Saluran
napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen untuk
keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan
perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam
paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh
darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah
teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu
gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran
udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan
restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP)
(Sherwood, 2001).
Faktor
risiko utama dari PPOK adalah
merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada
sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan
sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok
juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator
peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif
setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak
terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam
paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda
dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi
seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil
Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama
eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol
(Chojnowski, 2003).
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2012) antara lain :
a. Sinar
x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
b. Tes
fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi
abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan
pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema.
d. Kapasitas
inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume
residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f.
Forced Expiratory Volume (FEV1)
atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronchitis dan asma.
g. Analisa
Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling
sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis
kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang
atau asma).
h. Bronkogram
dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial
pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronkus.
i.
Hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma).
j.
Kimia darah antara lain alfa satu
antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum,
kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l.
Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis
kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis),
peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis
vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram
(EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,
mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi
program latihan.
2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks
spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor
pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi
pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan
giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
a. Acute
Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi
ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat
istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun
menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan
tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika
pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien
tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara
mekanik.
b. Cor
Pulmonale.
Cor
pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran ventrikel
kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo.
Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi
paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor
pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari
perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan
ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel
kanan menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan
penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi hingga 2
liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan istirahat. Edema
perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke jantung dari
perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis
hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung
kiri.
c. Pneumothoraks.
Pneumotoraks
merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara sehingga
pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural. Rongga
pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan cairan
tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan
pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama
pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka
kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan
hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
d. Giant
Bullae.
Pneumotoraks
seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu pembentukan giant
bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di rongga pleura.
Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim paru-paru.
Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas
menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi
pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru,
mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam
alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di
dinding alveolar.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah :
1. Pencegahan
yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi
eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik,
karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin
(amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian
antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama
periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia,
maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi
oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi
membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f.
Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk
didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan
atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi
jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik
untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari dapat
menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator,
tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan
fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik
dan ekspektoran.
f.
Terapi jangka penjang bagi pasien yang
mengalami gagal nafas tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi,
pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi
pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan
medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah
a.
Penatalaksanaan medis untuk asma adalah
penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari
penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu,
mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping
obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma
adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif
dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses
fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi beta
dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan
bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan efek
samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi
beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
b.
Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis
kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari,
dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari
penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena
perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat
pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika
individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang
dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling
nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan,
beberapa individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim
dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
Penatalaksanaan
medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase postural untuk
membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk
mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang
terus mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan
utama dari pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru.
Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami
penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan
pertama-tama dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat
seberapa jauh perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
Penatalaksanaan
medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, memperlambat progresi
penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.
Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan
untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan
pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan meningkatkan
ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang
berkesinambungan.
2.8 Asuhan Keperawatan
2.8.1
Pengkajian
Menurut
Doenges (2012)
pengkajian pada pasien dengan PPOK ialah :
1. Aktivitas
dan istirahat :
Gejala
:
a.
Keletihan, kelemahan, malaise.
b.
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari karena sulit bernafas.
c.
Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur
dalam posisi duduk tinggi.
d.
Dispnea pada saat istirahat atau respons
terhadap aktivitas atau latihan.
Tanda
:
a. Keletihan.
b. Gelisah,
insomnia.
c. Kelemahan
umum atau kehilangan masa otot.
2. Sirkulasi
Gejala :
a. Pembengkakan
pada ekstrimitas bawah.
Tanda :
a. Peningkatan
tekanan darah.
b. Peningkatan
frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c. Distensi
vena leher atau penyakit berat.
d. Edema
dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e. Bunyi
jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f.
Warna kulit atau membrane mukosa normal
atau abu-abu atau sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
g. Pucat
dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
Gejala :
a. Peningkatan faktor resiko.
b. Perubahan
pola hidup.
Tanda
a.
Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan atau Cairan
Gejala :
a. Mual
atau muntah.
b. Nafsu
makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan
untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan
berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronchitis).
Tanda :
a. Mual
atau muntah.
b. Nafsu
makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan
untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan
berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronchitis).
5. Hygiene
Gejala :
a. Penurunan
kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehai-hari.
Tanda :
a. Kebersihan
buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Gejala :
a. Nafas
pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada
emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas
(asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b. Lapar
udara kronis.
c. Batuk
menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama minimal
3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau,
putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d. Episode
batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat
menjadi produktif (emfisema).
e. Riwayat
pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan dalam
jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes, debu
batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f.
Faktor keluarga dan keturunan misalnya
defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g. Penggunaan
oksigen pada malam hari atau terus menerus.
7. Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus
Tanda :
a. Pernafasan
biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas
bibir (emfisema).
b. Lebih
memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi
akut (bronchitis kronis).
c. Penggunaan
otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa supraklavikula,
melebarkan hidung.
d. Dada
dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e. Bunyi
nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar, lembut, atau
krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru pada
ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak
adanya bunyi nafas (asma).
f.
Perkusi ditemukan hiperesonan pada area
paru misalnya jebakan udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru
misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g. Kesulitan
bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h. Warna
pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan, warna
merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema sedang
sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i.
Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8. Keamanan
Gejala :
a. Riwayat
reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b. Adanya
atau berulangnya infeksi.
c. Kemerahan
atau berkeringan (asma)
9.
Seksualitas
Gejala :
a. Penurunan
libido.
10.
Interaksi
Sosial
Gejala :
a. Hubungan
ketergantungan.
b. Kurang
sistem pendukung.
c. Kegagalan
dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d. Penyakit
lama atau kemampuan membaik.
Tanda :
a. Ketidakmampuan
untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress pernafasan.
b. Keterbatasan
mobilitas fisik.
c. Kelalaian
hubungan dengan anggota keluarga lain.
11.
Penyuluhan
atau pembelajaran
Gejala
:
a.
Penggunaan atau penyalahgunaan obat
pernafasan.
b.
Kesulitan menghentikan merokok.
c.
Penggunaan alkohol secara teratur.
d.
Kegagalan untuk membaik
1.8.2
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.
b. Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas
oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek
samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
1.8.3
Intervensi
Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas
dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi
:
Mandiri
:
1.
Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya
bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada
tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi nafas
adventisius.
2.
Kaji atau pantau frekuensi pernafasan.
Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya
ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
stress/adanya proses infeksi akut.
3.
Catat adanya derajat dispnea, misalnya
keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot
bantu.
R/ mengetahui disfungsi
pernapasan.
4.
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman,
misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi
pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5.
Dorong atau bantu latihan nafas abdomen
atau bibir.
R/ mengatasi dan
mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6.
Observasi karakteristik batuk, misalnya
batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki
keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap
tetapi tidak efektif.
7.
Tingkatkan masukan cairan sampai 3000
ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan
cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan
kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.
Kolaborasi :
1. Berikan
obat sesuai indikasi.
a. Bronkodilator
misalnya albuterol (ventolin).
b. Analgesik,
penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c. Berikan
humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol ruangan.
d. Bantu
pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/
merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan
napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan nafas
oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala
distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam
program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi
:
Mandiri
:
1.
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam
evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
2.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu
pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam
perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi
dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja
napas.
3.
Kaji atau awasi secara rutin kulit dan
warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan
sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
4.
Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan
bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret
menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas.
5.
Auskultasi bunyi nafas, catat area
penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup
karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
6.
Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran
vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
7.
Awasi tingkat kesadaran atau status
mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas
adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8.
Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.
Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk
tidur atau istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan
aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi individu.
R/ program latihan
ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea
berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9.
Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia,
disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada
fungsi jantung.
Kolaborasi
:
1. Awasi
dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2biasanya
meningkat dan PaCO2secara umum menurun, sehingga hipoksia terjadi
dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2. Berikan
oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
R/ dapat
memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3. Berikan
penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
R/ digunakan untuk
mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi oksigen/kebutuhan,
eksaserbasi dispnea.
4. Bantu
intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU
sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan
nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan penyelamatan hidup.
c. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek
samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju
tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau
perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang
tepat.
Intervensi
:
Mandiri
:
1.
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan
saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
R/ pasien distres
pernapasan akut sering anoreksia karena
dispnea, produksi sputum, dan obat.
2.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan
pernapasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3.
Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising
usus menunjukkan penurunan motilitas
gaster dan konstipasi.
4.
Berikan perawatan oral sering, buang
sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap
tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan
kesulitan nafas.
5.
Dorong periode istirahat selama 1 jam
sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan
kelemahan selamawaktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan
masukan kalori total.
6.
Hindari makanan penghasil gas dan
minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan
distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan gerakan diafragma, dapat
meningkatkan dispnea.
7.
Hindari makanan yang sangat panas atau
yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat
mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8.
Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan
kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan evaluasi keadekuatan rencana
nutrisi.
Kolaborasi
:
1.
Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung
tim untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang,
misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi parenteral.
R/ memberikan nutrisi
maksimal dengan upaya minimal pasien/penggunaan energi.
2.
Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya
glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral atau elektrolit sesuai
indikasi.
R/ mengevaluasi
kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3.
Berikan oksigen tambahan selama makan
sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan
meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan.
d. Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor
resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi
untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan
teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi
:
Mandiri
:
1. Awasi
suhu.
R/ demam dapat terjadi
karena infeksi atau dehidrasi.
2. Kaji
pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan
cairan adekuat.
R/ aktivitas ini
meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi paru.
3. Observasi
warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau,
kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4. Tunjukkan
dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang
benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau
membuang tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran
patogen melalui cairan.
5. Awasi
pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial
terpajan pada penyakit infeksius.
6. Dorong
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan
keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi,
meningkatkan penyembuhan.
7. Diskusikan
kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi
kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
Kolaborasi:
1. Dapatkan
spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman gram,
kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk
mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai
antimikrobial.
2. Berikan
antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme
khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan sensitifitas, atau diberikan
secara profilaktif karena resiko tinggi.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Identifikasi
Pasien
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 63 tahun
Alamat : Aek Kota Batu
Pekerjaan : Wiraswasta
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 19 Februari 2017
Tanggal pemeriksaan : 20 Februari 2017
ANAMNESIS
Keluhan
utama
Sesak yang bertambah hebat
sejak 7 hari SMRS
Keluhan tambahan
Nyeri ulu hati sejak 7 hari
SMRS
Riwayat
perjalanan penyakit
Sejak ± 1 tahun yang lalu,
pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi aktivitas bila berjalan sejauh
±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas bunyi mengi (+), pasien
mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada. Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+),
keringat malam hari (+), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+), BAB
dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari.
Pasien mengkonsumsi obat paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat
setelah dinyatakan sembuh oleh dokter yang meratwat.
± 1
bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas,
sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila
berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering terbangun
di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi mengi (+),
batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental
± 1 sendok teh, demam (+) ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-),
dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan turun (+), keringat malam (+) BAB
dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke praktek dokter. Dan mengalami
perbaikan, batuk dan sesak berkurang.
± 7 hari
SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak dipengaruhi aktivitas (+)
bila berjalan sejauh ±10 meter, nafas bunyi mengi (+), batuk (+), berdahak (+),
dahak putih kental ± 2 sendok teh, demam
ada namun tidak terlalu tinggi. Pasien
mengeluh sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1
bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan
menurun (+). Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati (+), mual (+), mutah (-),
perut terasa penuh (+), selalu bersendawa (+). BAB dan BAK biasa. Pasien
kemudian berobat ke SpPd namun tidak ada perbaiakan. Kemudian pasien berobat ke
RSMH dan dirawat.
Riwayat
penyakit dahulu
-
Riwayat nafas berunyi mengi (+) sejak 2 tahun
yang lalu, pencetus mengi udara dingin, pasien menggunakan obat yang disemprot
setiap kali serangan.
-
Riwayat
alergi makanan tidak ada.
-
Riwayat bersin-bersin udara dingin ada.
-
Riwayat sakit darah tinggi disangkal.
-
Riwayat kencing manis disangkal.
-
Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal
-
Riwayat minum obat-obatan NSAID disangkal.
Riwayat
kebiasaan
-
Riwayat merokok sejak umur 10 tahun hingga 2
tahun 1 bungkus per hari.
Riwayat
penyakit keluarga
-
Riwayat penyakit di keluarga dengan keluhan
yang sama disangkal.
Riwayat
sosioekonomi
-
Status ekonomi kurang
Status
gizi
Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi
satu piring.
Variasi diet:
Karbohidrat :
nasi, sebanyak 1 piring
Protein :
tahu, tempe sering
Lemak :
ikan, ayam, daging, ± 1potong, jarang
Sayur :
sering, sayur bayam atau kangkung
Susu :
jarang
II.
PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan Tanggal 20 Februari 2017)
Keadaan umum : Tampak sakit
Keadaan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Gizi : kurang
Dehidrasi : -
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/ menit
Pernapasan : 22x/ menit
Suhu : 36,8°C
BB : 44 kg
TB : 165 cm
IMT : 16,16 kg/m3
Keadaan
spesifik
Kulit
Warna sawo matang, turgor kembali
cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar (-), keringat umum (-),
keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), pertumbuhan
rambut normal.
KGB
Tidak ada pembesaran KGB pada
daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta tidak ada nyeri penekanan.
Kepala
Bentuk oval, simetris,
ekspresi sakit sedang, deformitas (-), rambut putih, lurus, tidak mudah
dicabut.
Mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus
(-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),
pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+) normal, pergerakan mata ke
segala arah baik.
Hidung
Bagian luar tidak ada
kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan
penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-).
Telinga
Tophi (-), nyeri tekan
prosesus mastoideus (-), pendengaran baik.
Mulut
Tonsil tidak ada pembesaran,
pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-),
rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan, pursed lips breathing (-).
Leher
Pembesaran kelenjar getah
bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Hipertrofi musculus
sternocleidomastoideus (+), JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-).
Dada
Dada simetris pada kondisi
statis, bentuk barrel chest, sela iga
melebar. Pada kondisi dinamis dada kanan dan kiri tidak ada yang
tertinggal, retraksi suprasternal (-),
nyeri tekan (-), nyeri ketok di dada (-), krepitasi (-).
Paru-paru
I : Statis simetris, dinamis kanan = kiri tidak ada yang
tertinggal, sela iga melebar (+), retraksi suprasternal (-)
P : Stem fremitus melemah pada kedua
lapangan paru-paru, sela iga melebar (+).
P : Perkusi hipersonor pada kedua
lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS VII
A : Vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang pada kedua
apeks paru, wheezing (-).
Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis
sinistra
P :
Sulit dinilai
A : HR: 78x/ menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : Datar
P : Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba
1 jari di bawah arcus costae, tajam, rata, konsistensi kenyal, lien tidak
teraba.
P : thympani, nyeri ketok (-), nyeri tekan (+) di epigastrium
A : BU (+) Normal
Alat
kelamin
Tidak diperiksa
Ekstremitas
atas
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi
(-), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral
hangat, turgor kembali cepat.
Ektremitas
bawah
Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi
(-), edema pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh
(-), akral hangat, turgor kembali cepat.
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (19
Maret 2012)
Hasil Pemeriksaan Hematologi:
Pemeriksaan
|
Hasil
|
Normal
|
Hb
|
13,8 g/dl
|
14-18 g/dl
|
Eritrosit
|
4.240.000
|
4,5-5,5 juta/mm3
|
Ht
|
39 vol%
|
40-48 vol%
|
Leukosit
|
9.200/mm3
|
5000-10.000/mm3
|
Trombosit
|
314.000/ mm3
|
200.000-500.000/ mm3
|
LED
|
10 mm/jam
|
L < 10 mm/jam, P < 15
mm/jam
|
Basofil
|
0%
|
0-1 %
|
Eosinofil
|
3%
|
1-3%
|
Batang
|
0%
|
2-6%
|
Segmen
|
60%
|
50-70%
|
Limfosit
|
24%
|
20-40%
|
Monosit
|
8%
|
2-8%
|
Hasil
Pemeriksaan Kimia Klinik:
Pemeriksaan
|
Hasil
|
Normal
|
BSS
|
80 mg/dl
|
|
Cholesterol Total
|
142 mg/dl
|
< 200 mg/dl
|
Ureum
|
27 mg/dl
|
15-39 mg/dl
|
Creatinin
|
0,8 mg dl
|
L 0,9-1,3 mg/dl, P 0,6-1,0
mg/dl
|
Bilirubin total
|
1,14 mg/dl
|
0,1-1,0 mg/dl
|
Bilirubin direk
|
0,24 mg/dl
|
<0,25 mg/dl
|
Bilirubin indirek
|
0,9 mg/dl
|
<0,75 mg/dl
|
SGOT
|
17 U/I
|
<40 U/I
|
SGPT
|
10 U/I
|
<41 U/I
|
Natrium
|
148 mmol/l
|
135-155 mmol/l
|
Kalium
|
5,1 mmol/l
|
3,5-5,5 mmol/l
|
Pemeriksaan
radiologi
Foto thorax PA (20 Februri
2017)
Gambar 1: Foto rontgen thorax
-
Kualitas foto kurang baik
-
asimetris
-
Trakea di tengah
-
Tulang-tulang baik
-
Sela iga melebar
-
Diafragma tenting (-)
-
CTR < 50%
-
Sudut costophrenicus tumpul
-
Parenkim paru : infiltrat di apeks kiri dan
kanan, hiperaerasi
Kesan : TB aktif lesi sedang,
PPOK.
3.1 Pengkajian
3.1.1
Analisa
Data
No
|
Data
|
Etiologi
|
Problem
|
1
|
Ds :
-
Pasien mengeluh sesak nafas pasien mersakan dada yang tertekan, pasien
mengatakan ada riwayat merokok.
Do :
-
Pasien terlihat kesulitan bernapas, batuk disertai dengan sputum
kental, pasien terlihat kesulitan berbicara, terlihat meninggikan bahu untuk
bernafas.
-
Terpasang o2 : 2 -3 l/m
-
Respirasi RR : 26 x/i
|
merokok
|
Pola nafas tidak efektif
|
2
|
Ds :
-
Papasien mengatakan letih dan lemas setelah melakukan aktifitas sehari
– hari karena kesulitan bernafas sesak nafas saat istirahat setelah
beraktifitas.
Do :
-
Pasien terlihat letih pasien dibantu oleh anggota keluarga seperti berpindah tempat mandi dan toilet.
|
Beonkiolus menyempit dan tersumbat
|
Intoleransi aktivitas
|
3
|
Ds :
-
Pasien batuk mengatakan
kesulitan untuk tidur karena batuk yang bertambah dimalam hari pasien
mengatakan tidak dapat beristirahat dengan baik.
Do :
-
Pasien sering terbangun saat tidur dimalam hari pasien terbangun 4x
dimalam hari pasien tidur 5 jam selama sehari
|
Bronkiolus menyempit dan tersumbat
|
|
Diagnosa
Keperawatan
1.
Bersian
jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan produsi secret d/d pasien mengeluh
sesak nafas, terpasangnya o2 : 2 – 3 l/I, respirasi : 26 x/i.
2.
Intoleransi
aktivitas b/d ketidak sehimbangan supplay o2 d/d pasien mengatakan letih dan
lemah setelah melakukan aktivitas sehari – hari karena kesulitan bernafas, sesk
nafas saat istirahat setelah beraktivitas seperti berpindah tempat, mandi dan
toilet.
3.
Gangguan
pola tidur b/d batuk meningkat dimana hari d/d pasien mengatakan kesulitan
untuk tidur karena bentuk pasien sering terbangun saat tidur dimalam hari.
RENCANA
HASUHAN KEPERAWATAN
No
|
Diaknosa keperawatan
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Bersian jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan
produsi secret d/d pasien mengeluh sesak nafas, terpasangnya o2 : 2 – 3 l/I,
respirasi : 26 x/i.
|
Tujuan :
-
Pola napas efektif
Criteria hasil :
-
Jalan nafas tetap lancer dari sekret
|
- Kaji status pernafasan
- Aukultasi bunyi nafas
- Berikan posisi semi foeler
- Anjurkan keluarga memberikan air hangat.
- Kolaborasi dalam memberkan obat dan o2
|
- Gerakkan meninggikan bahu dan gerakan dada yang
tidak simentris menunjukkan gangguan di pernafasan.
- Bunyi nfas dapat menunjukkn secret dan krekel
sebagai respon terhadap penumpukan cairan di jalan napas.
- Posisi semi fowler membantu klien mengurangi
gangguan pernapasan.
- Secret yang menumpuk di jalan nafas bias encer apa
bila diberika air hangat.
- Pemebrian obat berkolaborasi untuk melongarkan jalan
nafas dan pemberian o2 membantu peningkatan saluran oksigen dalam paru.
|
2
|
Intoleransi aktivitas b/d ketidak sehimbangan
supplay o2 d/d pasien mengatakan letih dan lemah setelah melakukan aktivitas
sehari – hari karena kesulitan bernafas, sesk nafas saat istirahat setelah
beraktivitas seperti berpindah tempat, mandi dan toilet.
|
Tujuan :
-
ADL terpenuhi
Kriteria hasil :
-
Semua aktivitas dilakukan secara mandiri tanpa bantuan.
|
- Anjurkan keluarga membantu aktivitas pasien selanma
masih sesak
- Anjurkan pasien agar mengurangi aktivitas.
- Berikan obat dan o2
|
- Aktivitas yang dibantu diharapkan dapat mengurangi
sesakan.
- Dengan banyak beristirahat dapat membantu pemulihan
kelemahan dan letihan pasien
- Pemberihan o2 dan obat diharapkan pernafasan menjadi
longgar dan oksingen dalam paru terpenuhi.
|
3
|
Gangguan pola tidur b/d batuk meningkat dimana hari
d/d pasien mengatakan kesulitan untuk tidur karena bentuk pasien sering
terbangun saat tidur dimalam hari.
|
Tujuan :
-
Kebutuhan tidur terpenuhi
Criteria hasil :
-
Pasien mengatakan istirahat tidurnya terpenuhi
|
- Anjurkan pada pasien untuk menghindari iritasi atau
allergen seperti asap rokok.
- Anjurkan penggunaan oksigen selama tidur
- Membantu pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman
- Berikan obat bronkhodilator
|
- Dengan bebas dari asap rokok iritasi dan allergen
lainnya diberikan o2 didalam ruangan dapat mengurangi sesak.
- Dengan penggunaan oksigen dapat membantu dalam paru.
- Posisi semi fowler membantu mengurangi bernafas yang
berlebihan
- Pemebrian obat bronchodilator membatu melonggarkan
pernapasan.
|
CATATAN
PERKEMBANGAN
Nama
: Tn. S Dx.
Medis : PPOK
Umur : 63
Tahun
No
|
Tanggal/ Dx Medis
|
Implementasu
|
Evaluasi
|
1
|
20.02.2017
Dx. I
|
- Mengkaji status pernafasan (auskultasi, bunyi nafas
meng ronchi pada paru bagian kanan.
- Memberikan posisi emi fowler pada pasien dengan
melakukan bantal di pundak pasien.
- Memantau pemberian o2 sesuai dengan anjuran dokter
dan pemebrian obat bronchodilator.
- O2 : 2 – 3 l/m
- Nebul ventolin /8 jam
- Nebul petolin
/8 jam
- Menganjurkan keluarga memberikan air minum hangat
|
S : pasien
mengatakan sesak dan merasakan dada tertekan
O : ronchi
(+), batuk (+), RR : 26 x/m
A : masalah
belum teratasi
P : intervensi
dilanjutkan
|
Dx. II
|
- Menganjurkan keluarga agar selalu membantu aktivitas
pasien selama sesak
- Menganjurkan pasien untuk mengurangi aktifitas
- Membantu pemeberian obat bronchodilator dan o2 : 2
-3 l/i
|
S : keluarga
mengatakan pasien sangat lelaapabila berjalan sedikit
O : sesak, lemah, RR : 26 x/i
A : masalah belum teratasi.
P : Intervensi dilanjutkan
|
|
Dx. III
|
- Menganjurkan pasien dan keluarga untuk menghindari
iritasi atau allergen seperti rokok
- Membantu pasien untuk mendapatkan posisi semi fowler
agar mengurangi rasa sesak.
- Menganjurkan pasien agar tetap menggunakan oksigen
selama tidur.
- Memeberikan obat bronchodilator (bronsoluvon, nebul
ventolin, nebul pelmicort)
|
S : keluarga
mengatakan pasien tidur gelisa.
O : pasien
sering terbangun dan sesak.
A : Masalah
belum teratasi.
P : Intervensi
dilanjutkan.
|
|
2
|
21.02.2017
Dx. I
|
- Mengakaji status pernafasan RR : 22 x/i
- Memberikan posisi semi fowler dengan membuat bantal
dipundak pasien.
- Memantau pemeberian 02 dan obat chadilator
(bionsolvan) o2 terkadang sudah dilepas bila terasa agak sesak baru digunakan
lagi.
- Memberikan air hangat setiap pasien minta minum.
|
S : pasien
mengatakan sesak sudah mulai berkurang, batuk berkurang.
O : pasien
tanpak tenang RR : 22 x/i
A : masalah sebagian teratasi
P : intervensi sebagian teratasi
|
Dx. II
|
- Memebrikan pasien melaksanakan aktivitas ringan
seperti berpindah tempat, makan sendiri.
- Memeberikan obat bronchodilator (brensolvon)
|
S : pasien
mengatakan sudah bias makan sendiri dan berpinda temat
O : pasien
terlihat bisa melakukan aktivitas
A : masalah teraktasi
P : intervensi dihentikan
|
|
Dx. III
|
- Menganjurkan pada keluarga agar menghindari iritasi
atau allergen pasien sudah mulai bias tidur nyenyak.
- Memebrikan posisi semi fowler agar tidur pasien
lebih nyaman
|
S : pasien mengatakan sudah bias tidur
O : pasien hanya sesekali terbangun untuk pergi ke
toilet
A : masalah teratasi
P : intervensi dihentikan
|
|
3
|
23.2.2017
Dx I
|
Intervensi dan implemtasi dihentikan :
1.
Pasien tampak lebih santai
2.
02 tidak terpasang lagi
3.
Pemebrian oabat injeksi dan nebul dihentikan
4.
RR : 18 x/m
5.
Pasien sudah dapat melakukan aktivitasnya sendiri
6.
Pasien pulang karena sudah sembuh dan tidak sesak lagi.
|
S : pasien tampak lebih tenang
O : pasien berwajah segar
A : masalah teratasi
P : interpensi dihentikan
|
BAB IV
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Dari hasil
asuhan keperawatan Tn. Sdengan PPOK, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
5.1.1
Melakukan
pengkajian pada Tn. Sterkait dengan PPOK
Dalam melakukan pengkajian pada Tn. S, penulis
mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi dengan Tn. Skarena Tn. Skesulitan
berbicara. Maka dari itu, penulis tidak hanya melakukan wawancara pada pasien
saja, tetapi juga pada anggota keluarga Tn. S
5.1.2
Merumuskan
diagnose keperawatan pada Tn. S
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis,
penulis memprioritaskan 3 diagnosa yaitu Perubahan pola nafas
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekret dan tumor paru. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan peningkatan produksi sekret. Gangguan rasa nyaman : nyeri
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas oleh sekret dan tumor paru
5.1.3
Melakukan
perencanaan terhadap Tn. S
Perencanaan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi
pasien. Sehingga intervensi yang dilakukan dapat terlaksana dengan baik terkait
dukungan dan kerjasama dari Tn. Sdalam mengatasi penyakit yang dideritanya.
Saat penulis melakukan kontrak waktu untuk pemberian asuhan keperawatan yang
akan dilakukan selanjutnya, klien dan keluarga klien juga kooperatif.
5.1.4
Melakukan
tindakan keperawatan pada Tn. Sterkait penyakit PPOK yang dialami Tn. S
Saat dilakukan tindakan keperawatan, Tn. Ssangat
kooperatif saat dilakukan injeksi, fisioterapi dada, diajarkan tekhnik
mengeluarkan secret dengan batuk efektif dan pasien juga memperhatikan saran
yang diberikan oleh penulis antara lain minum air hangat matang untuk
memudahkan keluarnya secret.
5.1.5
Melakukan
evaluasi keperawatan pada keluarga Tn. S
Evaluasi setelah memberikan tindakan keperawatan
selama 7 hari, untuk diagnose pertama sampai ketiga belum teratasi sedangkan
diagnose keempat sedikit teratasi.
5.1.6
Melakukan
dokumentasi keperawatan pada keluarga Tn. S
Setelah melakukan tindakan keperawatan, penulis
mendokumentasikan tindakan tersebut dalam catatan yang penulis buat.
5.2
Saran
5.2.1
RSUD Aek Kanopan
Penulis memberikan saran kepada Rumah Sakit agar dapat meningkatkan dan
mempertahankan standar asuhan keperawatan sehingga mutu pelayanan rumah sakit
dapat terjaga.
5.2.2
STiKes
Binalitas
Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun dan
penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan seminar
kecil dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan teruatama dengan pembuatan
asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.
5.2.3 Profesi Perawat
Penulis
berharap agar perawat ruangan dapat meningkatkan mutu pelayanan, lebih ramah
lagi tehadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan
sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media
Action.
Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.
Asih, Niluh Gede Yasmin.
2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Brashers, Valentina L.
2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi
2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Doenges, Marilynn E. 2012. Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Engram, Barbara. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available
from: http://www.goldcopd.org
Hidayat, Azis Alimul.
2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan
Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD
10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen :
Jurnal Keperawatan.
Lyndon,Saputra,(2010), Buku Kapita Selekta
Kedokteran Klinik, BinaRupa Aksara Publiser. Tangerang
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nazir. 2000. Metode Penelitian.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip
Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta : Salemba Medika.
Price, Sylvia A. Dkk.
2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1.
Jakarta: EGC.
Reeves, Charlene J. 2001. Buku Satu
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
Sherwood, L., 2001. Sistem
Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC,
410-460.